Selasa, 22 Juli 2008

Balada Miskin di Negeri Kaya

Oleh: Joni Lis Efendi
 
Riau Pos, Rabu, 16 Juli 2008
 

Kemiskinan bagi bangsa ini adalah komponen keempat setelah air, tanah dan langitnya. Hampir tidak pernah beranjak dari masa ke masa. Karena memang bahasa kemiskinan adalah bahasa keabadian yang tidak pernah akan tuntas dalam periode masa dan pemerintahan apapun. Ini sudah menjadi kodrat alam, sunnatullah. Ada orang kaya tentunya ada orang miskin. Tapi bagaimana jadinya bila kemiskinan itu terus tumbuh lantaran ketidakadilan? Barulah kita membaca apa yang menyebabkannya.

Bagaimanapun, yang paling berkompeten untuk mengatasi masalah kemiskinan ini adalah pemerintah. Bukan suatu yang ganjil didengar, bila Pemerintahan SBY berjanji akan menekan angka kemiskinan serendah-rendahnya. Karena memang demikianlah tugas pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya, walau tanpa jaminan akan mengayakannya semua orang. Batasan ini sudah menjadi sangat jelas sekali ketika pemerintahan SBY membahasakannya dalam angka-angka. Kita, sebagai rakyat biasa ini, tentunya ‘duduk manis’ untuk mendengarkan warta apa yang akan dikatakan pemerintah itu. Sebagai pengingat saja, pada awal pemerintahannya SBY berjanji akan mengurangi angka kemiskinan menjadi satu digit dari jumlah penduduk pada 2009.

Namun yang sangat disesalkan, hanya tinggal beberapa bulan lagi akhir pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, kenyataannya tidak seindah yang dijanjikan. Kondisi yang terjadi justru kebalikannya. Pasca kenaikan harga BBM bersubsidi Oktober 2005 dan Mei 2008, jumlah orang miskin di tanah air terus membalon. Pada kenaikan harga BBM Oktober 2005 lalu, yang rata-rata mencapai 118 persen, jumlah penduduk miskin bertambah 4,2 juta orang pada 2006 atau naik menjadi 39,3 juta jiwa (17,75 persen) dibandingkan tahun sebelumnya. Begitu juga dengan pengurangan subsidi BBM Mei lalu, diprediksi penduduk miskin akan mencapai 41,3 juta jiwa (21,92 persen) pada akhir 2008 atau bertambah 4,1 juta orang miskin dibandingkan 2007 yang sebesar 37,2 juta jiwa (16,58 persen).

Kenaikan harga BBM selalu diiringi dengan kenaikan harga barang kebutuhan pokok dan lainnya. Sebelum pengumuman kenaikan BBM, harga barang-barang sudah duluan merangkak naik
karena aksi spekulan. Tentu saja kenaikan harga BBM mendapat tempat kehormatan sebagai penghulu memicu tingginya tingkat inflasi. Bukan suatu yang mengherankan jika Bank Indonesia memprediksi tingkat inflasi pada 2008 ini akan menembus dua digit, pada kisaran 11,5-12,5 persen.

Selain itu, dampak ikutan yang tidak mungkin ditolak adalah semakin tingginya tingkat rawan pangan. Hal ini terjadi karena lonjakan harga kebutuhan pokok pasca pemerintah menaikkan harga BBM. Berita buruknya, mereka yang sangat rentan terhadap malapetaka kelaparan ini tentulah masyarakat miskin. Karena hampir suatu yang tidak mungkin untuk memenuhi standar kesehatan WHO, lah uang buat beli beras saja kadang ada lebih sering tidak cukup. Pada 2005, sebelum kenaikan harga BBM, dari 35,1 juta penduduk miskin sedikitnya tercantum 5,11 juta jiwa penduduk yang rawan pangan. Angka ini melonjak hampir dua kali lipat pada 2006, pasca kenaikan harga BBM, setiaknya ada 9,95 juta jiwa bergelut dengan bencana kelaparan dari 39,3 juta penduduk miskin. Sedangkan setahun berikutnya pada 2007, penduduk miskin yang rawan pangan menyusut tinggal sekitar 5,71 juta jiwa dari jumlah penduduk 37,17 juta jiwa. Bertambahnya penduduk miskin pasca kenaikan BBM Mai 2008 lalu, diprediksi akan meningkatkan jumlah orang miskin yang terancam didera bencana kelaparan tingkat akut jika tidak mendapat bantuan segera.

Dalam perkara ini, pemerintah sudah pasti berkewajiban untuk menanggulangi dampak ikutan dari kebijakan menaikkan harga BBM. Bantuan langsung tunai (BLT) sebesar 100 ribu rupiah per rumah tangga miskin (RTM) perbulan dirasakan belum mampu mensubstitusi besarnya biaya kebutuhan hidup penerimanya. Malah tak jarang menjadi masalah baru di tengah masyarakat, baik bagi yang menerimanya karena memang tidak menutupi tingginya biaya hidup. Sedangkan bagi penduduk miskin yang layak menerimanya, tapi tidak mendapatkan BLT karena masih memakai data 2005, akan merasa dianaktirikan pemerintah. Di beberapa tempat, ada masyarakat yang menolak BLT karena memang tidak menutupi biaya hidup yang membengkak berkali lipat.

Seharusnya pemerintah lebih cerdas dalam memberikan solusi bagaimana caranya mengatasi masalah ini, tidak dengan cara pintas yang terkesan membodohi rakyat. Melihat lebih dalam lagi, sebenarnya masalah yang melilit rakyat miskin di negara kaya ini tidak hanya soal BBM tapi masih banyak yang lainnya. Siapa saja hampir dapat menilai bahwa pemerintah terkesan menomorsekiankan kepentingan rakyat. Padahal dalam konstitusi negara sudah jelas-jelas mengamanatkan kepada pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan, harkat dan martabat rakyat agar menjadi lebih baik. Hanya pemerintahan diktator absolut yang berorientasi untuk melemahkan kekuataan rakyat agar kekuasaannya dapat langgeng. Menjadi tidak lucu bila hal demikian yang trepikir dalam benak pemimpin bangsa ini untuk sebuah negara demokrasi yang bernama NKRI ini.

Melihat kondisi bangsa sekarang ini, bukan suatu yang berlebihan bila rakyat menilai masih banyak angka merah pada rapor pemerintahan SBY dengan Kabinet Indonesia Bersatunya. Sebagian kebijakan yang diambil SBY terkesan mengabaikan sensitifitas kerakyataan dan cenderung mengamankan kepentingan segelintir orang. Seperti, sikap SBY yang masih ragu mengambil keputusan dalam kasus lumpur Lapindo dan BLBI yang sudah jelas-jelas merugikan kepentingan nasional. Selain itu, pengurangan subsidi BBM disinyalir ada skenario lain agar APBN tetap mencantumkan anggaran untuk membayar bunga dan pokok utang luar negeri yang hampir menyedot alokasi 16 persen dari APBN.

Rendahnya perhatian pemerintah terhadap petani merupakan bagian yang tak terpisahkan dari lemahnya perlindungan yang dilakukan pemerintah. Beberapa tahun terakhir, Indonesia dijuluki sebagai pengimpor beras, jagung dan gula terbesar di dunia. padahal bangsa ini dulunya pernah swasembada pangan. Lucunya lagi, pemerintah tidak pernah berniat serius untuk memperbaiki tataniaga pangan dengan kian membanjirnya produk pangan impor yang jelas-jelas merosotkan kemampuan petani kita. Belum lagi rendahnya subsidi pertanian yang diberikan pemerintah, yang secara langsung membenturkan petanin kita pada pilihan akan tingginya biaya produksi. Sedangkan, harga gabah belum tentu akan membaik kalau musim panen tiba.

Sudah saatnya bangsa ini peduli dengan rakyatnya yang terus menjerit didera beban ekonomi yang kian berat. Pemerintah tidak selamanya beradalih hanya untuk menyelamatkan APBN agar tetap bernapas. Sedangkan hampir sebagian besar rakyat kita sulit bernafas, atau mungkin tidak bisa bernapas lagi (mati kelaparan atau busung lapar) karena lilitan kemiskinan yang akut. Saatnya kita membangun kesadaran nasional untuk menyelamatkan bangsa ini, salah satu caranya dengan memperbarui kepemimpinan nasional pada pemilu tahun depan.***

Joni Lis Efendi: Ketua Kajian Lingkar Perubahan