Oleh: Nurrahman Effendi
Betapa bergemuruhnya dada orang-orang yang di dalamnya terpancang keimanan yang kuat ketika diseruhkan kepada mereka untuk berjihad membela agama Allah. Karena tidak ada suatu apapun yang sepadan untuk membeli jiwa dan raga orang-orang yang berperang menegakkan agama Allah, selain surga. Surga sesungguhnya adalah kemenangan yang besar.
Mati syahid adalah kemuliaan sejati. Betapa bergeloranya dada ketika menyambut perintah jihad. Betapa inginnya mereka menyandang gelar syahid. Sungguh tak ada keraguan dan kesedihan hati bagi orang-orang yang mendapat peringkat syahid. Berbaris-baris pasukan Mukminin menyatakan kesediaannya untuk menunaikan perintah agung itu.
Rasulullah saw. memanggil kaum Muslimin yang mampu untuk berangkat ke Badar. Menunaikan perintah Allah untuk berjihad membela agama-Nya.
Tak ada keraguan sedikit pun dalam hati mereka. Betapa dekatnya syahid. Betapa dekatnya surga. Betapa dekatnya bidadari-bidadari bermata jeli. Betapa dekatnya mahkota-mahkota yang lebih baik dari dunia dan segala isinya. Dan semua itu sudah berkecamuk dalam dada kaum Mukminin.
"Wahai Ayah, izinkanlah saya saja yang berangkat ke Badar. Sungguh, Rasulullah saw. telah mewajibkannya bagi orang-orang yang mampu seperti saya. Sungguh Ayah, saya sudah tak sabar lagi ingin mencium harumnya surga. Izinkan saya saja yang berangkat," suara Saad bin Khaitsamah memelas kepada ayahnya.
Betapa ia tak mampu lagi menumpahkan luapan keinginannya untuk terjun dalam perperangan pertama kaum Mukminin menghadapi kafir Quraisy.
"Wahai anakku, aku yang lebih layak darimu untuk berangkat bersama pasukan Rasulullah. Tinggallah, masih ada yang akan kau jaga yakni wanita dan anak-anak," kata Khaitsamah. Walaupun usianya sudah senja, tapi semangat jihad teramat berkobar dalam dadanya.
"Wahai Ayahku, demi Allah janganlah berbuat seperti itu. Karena keinginanku untuk memerangi kaum kafir lebih besar daripada keinginanmu. Maka izinkanlah aku saja yang keluar," suara Saad sudah teramat parau.
Namun sikap kukuh ayahnya tidak mampu dipadamkan dengan semua itu. Khaitsamah bersuara tinggi kepada kepada anaknya, "Kau membangkang dan tidak mentaati perintahku!"
"Allah telah mewajibkan aku berjihad dan Rasulullah memanggilku untuk berangkat berperang. Tidakkah itu cukup jadi alasan bagi Ayah untuk mengizinkan aku berangkat ke Badar? Sedangkan Ayah meminta aku melakukan yang lain. Apakah pantas bagiku menentang Allah dan Rasulullah?"
"Wahai anakku, kalau hanya salah satu dari kita yang boleh berangkat, kau atau aku. Maka dahulukanlah ayahmu yang sudah tua ini yang berangkat," kini suara Khaitsamah mulai pelan.
"Demi Allah wahai Ayahku. Kalau bukan karena surga, tentu aku akan mendahulukanmu."
Antara bapak anak itu sepertinya tidak akan mendapatkan kesepahaman. Khaitsamah tidak akan rela kecuali melalui undian. Siapa di antara mereka yang akan berangkat sehingga terasa lebih adil. Rupayanya keberuntungan berpihak kepada Saad. Dengan terpaksa Khaitsamah merelakan anaknya yang berangkat ke Badar.
Saad minta izin kepada ayahnya. Khaitsamah hanya mengangguk kecil. Matanya sudah basah oleh air mata. Betapa rindunya ia pada medan jihad dan surga.
"Ayah jangan bersedih hati. Aku tak akan pulang sampai mendapat syahid."
"Berangkatlah, semoga Allah menganugrahkan apa yang kau dambakan itu. Alangkah bahagianya dirimu wahai anakku."
Saad memburu dalam pelukan ayahnya. Dia juga tak mampu menahan air matanya agar tidak tumpah. Itu adalah perpisahannya yang terakhir dengan ayahnya. Dalam kecamuk perang Badar, Saad bin Khaitsamah mendapatkan apa yang dia dambakan. Berita syahidnya Saad sampai juga kepada ayahnya.
"Engkau telah mendapatkan kemenangan yang gemilang wahai anakku. Demi Allah, aku akan menyusulmu. Aku akan menyusulmu."
Air mata Khaitsamah berjatuhan seperti hujan di wajahnya. Sampai-sampai jenggotnya basah oleh air matanya.
Seruan jihad kembali menggema di langit kota Madinah. Kerinduan kemenangan pada perang Badar telah membuat dada-dada kaum Mukminin kian bergemuruh untuk segera menunaikan seruan Rasulullah saw. Apalagi mereka yang tidak turun di medan Badar, ada semacam rasa bersalah dalam dada. Dan itu makin bertambah-tambah ketika melihat kemenangan gemilang yang berhasil ditorehkan pasukan Mukminin. Sejarah pun mencatatnya dengan tinta emas. Mereka ingin menebusnya dengan perang Uhud. Sungguh, mereka ingin segera sampai di Uhud lalu menebas batang leher musuh-musuh Allah.
Kali ini Khaitsamah tidak akan berdiam diri. Walau Rasulullah tidak mewajibkannya berangkat karena usianya yang sudah lanjut, Khaitsamah menyelinap masuk ke dalam barisan pasukan Islam. Dia membawa perlengkapan perang sendiri.
Ketika geladi resik yang langsung dipimpin oleh Rasulullah, beliau mendapati Khaitsamah ada dalam barisan pasukan Muslimin. Rasulullah pun tidak mengizinkannya ikut bergabung dengan pasukan Uhud itu.
"Wahai Rasulullah, sebenarnya dulu aku sangat ingin berangkat ke Badar. Sampai-sampai aku dan anakku berselisih sebelum kami mengadakan undian siapa yang berhak untuk berangkat ke Badar. Saad yang memenangkannya sehingga dia yang mendapat syahid."
Dengan air mata yang terus bercucuran, Khaitsamah coba menjelaskan alasannya kepada Rasulullah. "Tadi malam aku bermimpi bertemu anakku. Dia berkata kepadaku, "Ayah harus menemaniku di surga. Dan aku telah menerima apa yang dijanjikan Allah. Lihatlah keadaan yang ada pada diriku ini Ayah, dan semua yang aku dapatkan ini." Wahai Rasulullah, demi Allah, aku rindu untuk menemaninya di surga. Usiaku telah lanjut dan aku ingin berjumpa dengan Rabbku. Izinkan aku ikut bersamamu."
Rasulullah saw. pun tidak berkata-kata lagi. Dia melewati Khaitsamah untuk memeriksa pasukan Islam sebelum dia berpidato membangkitkan semangat jihad dalam dada setiap pasukan yang merindukan surga itu.
Pertempuran Uhud pun berkecamuk dengan hebatnya. Khaitsamah bertempur dengan semangat membaja. Tujuannya hanya satu, syahid. Dan Allah pun tidak menyia-nyiakan harapan hamba-Nya itu. Khaitsamah gugur sebagai syahid. Dia pun telah mendapatkan kemenangan yang besar dan perjumpaan dengan anaknya di surga.
Wahai Saudaraku Seiman yang selalu mencari keridhaan Allah
Belajarlah dari orang-orang terdahulu, dari sebaik-baik generasi yang pernah ada di muka bumi ini. Kecintaan mereka terhadap kematian dalam membela agama Allah sama besarnya dengan kecintaan orang-orang kafir terhadap dunianya, bahkan lebih besar dari itu. Mereka bersungguh-sungguh dan sabar menghadapi kesulitan dalam berjihad di jalan Allah. Dan Allah memberikan balasan sesuai dengan yang mereka inginkan.
Sungguh, balasan yang ada di sisi Allah lebih baik dari apa yang kita bayangkan. Adakah kemenangan yang lebih besar daripada surga? Adakah kenikmatan yang mampu mengalahkan surga? Sungguh, amat beruntunglah orang-orang yang menukar jiwa dan raganya hanya dengan surga. Allahu Akbar.
Dikutip dari buku The Power of Wisdom Kitab Hikmah Buah Keimanan
Penulis Nurrahman Effendi, Penerbit Grafindo, 2008
Kamis, 23 Oktober 2008
Pedagang yang Takut Azab Allah
Pedagang yang Takut Azab Allah
Oleh: Nurrahman Effendi
Langit Madinah begitu cerah. Tak ada segumpal awan pun yang mengapung di angkasa. Matahari bersinar begitu angkuh. Panasnya mampu memanggang ubun-ubun. Walaupun begitu, orang-orang tetap cuek di bawah tikaman panas yang begitu garang. Keperluan yang mendesak membuat mereka tidak begitu peduli dengan panas yang memanggang pada siang itu.
Orang-orang yang berlalu lalang masih ramai. Walau tidak seramai pagi tadi. Pedagang-pedagang masih banyak yang menggelar dagangannya. Di bawah naungan tenda yang terbuat dari kulit binatang, mereka menawarkan kepada siapa saja yang lewat barang dagangannya. Ada yang cuma melihat-lihat saja. Ada juga satu dua yang menawarnya. Kebanyakan hanya numpang lewat.
Pedagang yang memiliki kios sendiri jauh lebih beruntung bila cuaca teramat panas begini. Tapi mereka kalah banyak pembeli dengan pedagang-pedagang yang membuka lapak di tepi-tepi jalan itu. Ada juga satu dua orang yang sengaja mendatangi mereka. Dan mereka tidak perlu setengah berteriak untuk menawarkan dagangannya. Sebagian besar pembeli yang datang ke kios-kios itu adalah pelanggan tetap. Sedangkan pedagang-pegadang lapak itu hanya bersifat musiman dan selalu berganti-ganti orang.
Sebagian besar pedagang di zaman tabiin itu adalah adalah pegadang yang jujur dan memegang teguh prinsip-pinsip bermuamalah yang sesuai dengan syariat Islam. Salah satu dari mereka adalah Yunus bin Ubaid, seorang pedagang perhiasaan di kota Madinah yang sudah diakui kejujuran dan keshalehannya. Toko perhiasaannya tidak pernah sepi dari orang yang datang untuk membeli perhiasaan, menjualnya kembali atau menggadaikannya.
Prinsip yang dijalankan Yunus adalah kejujuran dan kepercayaan. Dia begitu takut akan murka Allah terhadap pedagang yang curang. Nabi saw. pernah mengatakan bahwa pegadang yang jujur akan memasuki surga lebih dahulu. Sedangkan pedagang yang suka mengurangi timbangan, ukuran dan membohongi pembeli tentang kualitas barang dagangannya, bagian mereka adalah neraka yang menyala-nyala. Dan tentunya mereka yang duluan memasukinya.
Tidak itu saja, Allah akan menurunkan bencana yang tidak putus-putusnya kepada sebuah kaum bila saja pada kaum itu pedagang-pedagangnya suka mengurangi timbangan, ukuran dan melakukan praktek riba. Tidak akan selamat orang-orang yang demikian.
Matahari sudah tergelincir ke barat. Sebentar lagi akan masuk waktu shalat zuhur. Yunus telah bersiap-siap untuk menunaikan panggilan kemenangan itu. Untuk itu, dia meminta anak saudaranya menunggu toko perhiasannya.
Debu-debu di jalanan kota Madinah berterbangan ditiup angin. Orang-orang banyak yang menutup hitung dan mulutnya. Perempuan-perempuan tak tampak lagi di jalanan. Mereka masuk ke kamarnya masing-masing untuk menunaikan shalat zuhur. Sedangkan para lelaki berbondong-bondong menuju masjid.
Para pedagang musiman itu membiarkan begitu saja barang dagangannya. Sebagian ada yang menutupnya dengan pelepah kurma agar debu dan pasir tidak menyiramnya, bisa-bisa tidak ada orang yang mau membeli buah kurma dan pir mereka. Bocah-bocah berkejar-kejaran di gang-gang menuju masjid. Sesekali mereka berlindung di balik punggung ayah atau lelaki dewasa lainnya untuk menghindari kejaran temannya. Suara tawa dan salam silih berganti terdengar di lorong gang menuju masjid. Sudah menjadi kebiasaan lelaki di sana, setiap bertemu dengan kenalan apalagi sahabat baik akan mengucapkan salam, berpelukkan dan tertawa dalam waktu yang hampir bersamaan.
Pelataran masjid sudah penuh sesak. Di tempat wudhu, orang-orang antri untuk mendapat gilirian membersihkan anggota tubuh. Azan sudah selesai dan orang-orang mangangkat takbir untuk melaksanakan shalat sunat.
Sementara itu, di toko perhiasan Yunus, ada seorang badui yang datang untuk membeli perhiasan. Sepertinya dia memang menyengajakan diri jauh-jauh datang ke Madinah untuk terlebih dahulu singgah di toko perhiasaan itu. Kata orang-orang di kampungnya, harga perhiasan jauh lebih murah kalau dia membelinya langsung ke Madinah. Di kampungnya, perhiasaan seperti itu harganya bisa jadi dua atau tiga kali lipat.
Dia pun menemukan apa yang dicarinya. Sebuah perhiasaan yang sudah dilihatnya di kampungnya yang begitu ingin dibelinya.
"Yang ini saya beli 400 dirham, bagaimana?" tawar badui itu tanpa menanyakan dulu harga yang sebenarnya kepada pelayan toko itu ketika melihat perhiasaan yang dimaksudnya.
"Ambillah," kata pelayan toko itu sambil memberikan perhiasan itu.
Tanpa banyak tawar lagi, perhiasaan itu sudah berpindah ke tangan orang badui itu. Alangkah senangnya hati orang badui itu mendapatkan perhiasaan yang dicarinya dengan harga yang lebih murah.
Karena sangking senang dan bahagianya, perhiasan itu dilihatinya terus sambil melangkah menuju masjid. Ketika melewati lorong masjid, tanpa sengaja dia menubruk tubuh Yusuf. Karena orang badui itu tidak terlalu memperhatikan jalan dan asyik menatap perhiasan yang ada di tangan kanannya.
Yusuf pun tahu bahwa perhiasaan itu berasal dari tokonya. Dia menanyakan perihal perhiasan itu kepada orang badui itu.
"Maaf Pak, sepertinya perhiasan ini berasal dari toko saya. Kalau boleh tahu, berapa Bapak beli perhiasan ini?"
"Perhiasan ini saya beli 400 dirham. Saya begitu senang karena harganya lebih murah dari yang ada di kampung saya," orang badui itu masih tersenyum senang.
"Harga perhiasan ini hanya 200 dirham. Baiknya kita kembali ke toko saya. Saya akan mengembalikan sisa uang Bapak."
"Tidak mengapalah. Saya sudah sangat senang dan tidak masalah dengan harga 400 dirham. Di kampung saya, harga perhiasan seperti ini tidak bisa kurang dari 500 dirham."
"Demi Allah, Bapak harus mengambil sisa uangnya. Saya takut Allah akan murka kepada saya."
Mendangar kata yang demikian, orang badui itu bersedia kembali ke toko Yusuf. Setibanya di toko perhiasannya, Yusuf segera mengembalikan dua ratus dirham kepada orang badui itu. Orang badui itu bersorak senang. Berkali-kali dia mencium pipi Yusuf. Setelah itu dia mengatakan kepada semua orang yang ditemuinya bahwa perhiasan itu dibelinya seharga dua ratus dirham. Dia melakukan hal yang demikian karena sangking senangnya.
"Kau lihat sendiri, kan? Hampir saja saya melakukan sebuah kezaliman. Apakah kamu tidak merasa malu dan takut kepada Allah atas perbuatanmu menjual barang tadi dengan harga dua kali lipat?" ucap Yusuf kepada anak saudaranya itu.
"Tetapi dia sendiri yang mau membelinya segitu. Saya belum sempat mengatakan harganya, dia sudah menawar empat ratus dirham," bela anak saudaranya itu.
"Kau benar, tapi kita telah menzalimi saudara sendiri. Dan dia akan menuntut di akhirat kelak. Takutlah kepada azab Allah yang tak seorang pun yang dapat selamat darinya."
Anak saudaranya itu terduduk lesuh. Dia harus lebih banyak belajar untuk menjadi pedagang yang jujur seperti pamannya itu. Bukan pekara mudah untuk menjadi padagang yang jujur dan amanah. Tapi bukan berarti tidak ada pedagang yang jujur.
Wahai Saudaraku Seiman yang berbahagia
Sungguh amat celakalah seorang pedagang yang mengurangi timbang, memendekkan ukuran dan membohongi pembeli dengan mengatakan bahwa barang yang jualnya itu bagus padahal tidak. Mereka mengira bahwa dengan demikian itu akan mendatangkan keuntungan yang besar. Sekali-kali tidak. Malah kerugian besar yang kelak akan mereka terima. Malahan murka Allah dan api neraka jahanam akan mendera mereka siang malam tanpa putus-putus. Takutlah kepada azab Allah yang tak seorang pun akan selamat darinya kecuali orang-orang yang mendapat keridhaan Allah.
Tidakkah cukup pelajaran bagi kaum-kaum terdahulu yang mendapatkan azab Allah karena mempraktekkan kecuringan dalam jual beli serta melakukan riba. Amat celakalah mereka. Sungguh, tidak pantas bagi kita mencampur karunia Allah dengan sesuatu yang haram dan nista. Berikanlah hak pembeli dan genapkanlah timbangan dan ukurannya, jadilah pedagang yang jujur dan amanah. Sungguh, surga Allah telah menunggumu dan engkau yang pertama kali akan memasukinya. Alangkah bahagianya orang-orang yang mendapat kemenangan yang gemilang itu.
Oleh: Nurrahman Effendi
Langit Madinah begitu cerah. Tak ada segumpal awan pun yang mengapung di angkasa. Matahari bersinar begitu angkuh. Panasnya mampu memanggang ubun-ubun. Walaupun begitu, orang-orang tetap cuek di bawah tikaman panas yang begitu garang. Keperluan yang mendesak membuat mereka tidak begitu peduli dengan panas yang memanggang pada siang itu.
Orang-orang yang berlalu lalang masih ramai. Walau tidak seramai pagi tadi. Pedagang-pedagang masih banyak yang menggelar dagangannya. Di bawah naungan tenda yang terbuat dari kulit binatang, mereka menawarkan kepada siapa saja yang lewat barang dagangannya. Ada yang cuma melihat-lihat saja. Ada juga satu dua yang menawarnya. Kebanyakan hanya numpang lewat.
Pedagang yang memiliki kios sendiri jauh lebih beruntung bila cuaca teramat panas begini. Tapi mereka kalah banyak pembeli dengan pedagang-pedagang yang membuka lapak di tepi-tepi jalan itu. Ada juga satu dua orang yang sengaja mendatangi mereka. Dan mereka tidak perlu setengah berteriak untuk menawarkan dagangannya. Sebagian besar pembeli yang datang ke kios-kios itu adalah pelanggan tetap. Sedangkan pedagang-pegadang lapak itu hanya bersifat musiman dan selalu berganti-ganti orang.
Sebagian besar pedagang di zaman tabiin itu adalah adalah pegadang yang jujur dan memegang teguh prinsip-pinsip bermuamalah yang sesuai dengan syariat Islam. Salah satu dari mereka adalah Yunus bin Ubaid, seorang pedagang perhiasaan di kota Madinah yang sudah diakui kejujuran dan keshalehannya. Toko perhiasaannya tidak pernah sepi dari orang yang datang untuk membeli perhiasaan, menjualnya kembali atau menggadaikannya.
Prinsip yang dijalankan Yunus adalah kejujuran dan kepercayaan. Dia begitu takut akan murka Allah terhadap pedagang yang curang. Nabi saw. pernah mengatakan bahwa pegadang yang jujur akan memasuki surga lebih dahulu. Sedangkan pedagang yang suka mengurangi timbangan, ukuran dan membohongi pembeli tentang kualitas barang dagangannya, bagian mereka adalah neraka yang menyala-nyala. Dan tentunya mereka yang duluan memasukinya.
Tidak itu saja, Allah akan menurunkan bencana yang tidak putus-putusnya kepada sebuah kaum bila saja pada kaum itu pedagang-pedagangnya suka mengurangi timbangan, ukuran dan melakukan praktek riba. Tidak akan selamat orang-orang yang demikian.
Matahari sudah tergelincir ke barat. Sebentar lagi akan masuk waktu shalat zuhur. Yunus telah bersiap-siap untuk menunaikan panggilan kemenangan itu. Untuk itu, dia meminta anak saudaranya menunggu toko perhiasannya.
Debu-debu di jalanan kota Madinah berterbangan ditiup angin. Orang-orang banyak yang menutup hitung dan mulutnya. Perempuan-perempuan tak tampak lagi di jalanan. Mereka masuk ke kamarnya masing-masing untuk menunaikan shalat zuhur. Sedangkan para lelaki berbondong-bondong menuju masjid.
Para pedagang musiman itu membiarkan begitu saja barang dagangannya. Sebagian ada yang menutupnya dengan pelepah kurma agar debu dan pasir tidak menyiramnya, bisa-bisa tidak ada orang yang mau membeli buah kurma dan pir mereka. Bocah-bocah berkejar-kejaran di gang-gang menuju masjid. Sesekali mereka berlindung di balik punggung ayah atau lelaki dewasa lainnya untuk menghindari kejaran temannya. Suara tawa dan salam silih berganti terdengar di lorong gang menuju masjid. Sudah menjadi kebiasaan lelaki di sana, setiap bertemu dengan kenalan apalagi sahabat baik akan mengucapkan salam, berpelukkan dan tertawa dalam waktu yang hampir bersamaan.
Pelataran masjid sudah penuh sesak. Di tempat wudhu, orang-orang antri untuk mendapat gilirian membersihkan anggota tubuh. Azan sudah selesai dan orang-orang mangangkat takbir untuk melaksanakan shalat sunat.
Sementara itu, di toko perhiasan Yunus, ada seorang badui yang datang untuk membeli perhiasan. Sepertinya dia memang menyengajakan diri jauh-jauh datang ke Madinah untuk terlebih dahulu singgah di toko perhiasaan itu. Kata orang-orang di kampungnya, harga perhiasan jauh lebih murah kalau dia membelinya langsung ke Madinah. Di kampungnya, perhiasaan seperti itu harganya bisa jadi dua atau tiga kali lipat.
Dia pun menemukan apa yang dicarinya. Sebuah perhiasaan yang sudah dilihatnya di kampungnya yang begitu ingin dibelinya.
"Yang ini saya beli 400 dirham, bagaimana?" tawar badui itu tanpa menanyakan dulu harga yang sebenarnya kepada pelayan toko itu ketika melihat perhiasaan yang dimaksudnya.
"Ambillah," kata pelayan toko itu sambil memberikan perhiasan itu.
Tanpa banyak tawar lagi, perhiasaan itu sudah berpindah ke tangan orang badui itu. Alangkah senangnya hati orang badui itu mendapatkan perhiasaan yang dicarinya dengan harga yang lebih murah.
Karena sangking senang dan bahagianya, perhiasan itu dilihatinya terus sambil melangkah menuju masjid. Ketika melewati lorong masjid, tanpa sengaja dia menubruk tubuh Yusuf. Karena orang badui itu tidak terlalu memperhatikan jalan dan asyik menatap perhiasan yang ada di tangan kanannya.
Yusuf pun tahu bahwa perhiasaan itu berasal dari tokonya. Dia menanyakan perihal perhiasan itu kepada orang badui itu.
"Maaf Pak, sepertinya perhiasan ini berasal dari toko saya. Kalau boleh tahu, berapa Bapak beli perhiasan ini?"
"Perhiasan ini saya beli 400 dirham. Saya begitu senang karena harganya lebih murah dari yang ada di kampung saya," orang badui itu masih tersenyum senang.
"Harga perhiasan ini hanya 200 dirham. Baiknya kita kembali ke toko saya. Saya akan mengembalikan sisa uang Bapak."
"Tidak mengapalah. Saya sudah sangat senang dan tidak masalah dengan harga 400 dirham. Di kampung saya, harga perhiasan seperti ini tidak bisa kurang dari 500 dirham."
"Demi Allah, Bapak harus mengambil sisa uangnya. Saya takut Allah akan murka kepada saya."
Mendangar kata yang demikian, orang badui itu bersedia kembali ke toko Yusuf. Setibanya di toko perhiasannya, Yusuf segera mengembalikan dua ratus dirham kepada orang badui itu. Orang badui itu bersorak senang. Berkali-kali dia mencium pipi Yusuf. Setelah itu dia mengatakan kepada semua orang yang ditemuinya bahwa perhiasan itu dibelinya seharga dua ratus dirham. Dia melakukan hal yang demikian karena sangking senangnya.
"Kau lihat sendiri, kan? Hampir saja saya melakukan sebuah kezaliman. Apakah kamu tidak merasa malu dan takut kepada Allah atas perbuatanmu menjual barang tadi dengan harga dua kali lipat?" ucap Yusuf kepada anak saudaranya itu.
"Tetapi dia sendiri yang mau membelinya segitu. Saya belum sempat mengatakan harganya, dia sudah menawar empat ratus dirham," bela anak saudaranya itu.
"Kau benar, tapi kita telah menzalimi saudara sendiri. Dan dia akan menuntut di akhirat kelak. Takutlah kepada azab Allah yang tak seorang pun yang dapat selamat darinya."
Anak saudaranya itu terduduk lesuh. Dia harus lebih banyak belajar untuk menjadi pedagang yang jujur seperti pamannya itu. Bukan pekara mudah untuk menjadi padagang yang jujur dan amanah. Tapi bukan berarti tidak ada pedagang yang jujur.
Wahai Saudaraku Seiman yang berbahagia
Sungguh amat celakalah seorang pedagang yang mengurangi timbang, memendekkan ukuran dan membohongi pembeli dengan mengatakan bahwa barang yang jualnya itu bagus padahal tidak. Mereka mengira bahwa dengan demikian itu akan mendatangkan keuntungan yang besar. Sekali-kali tidak. Malah kerugian besar yang kelak akan mereka terima. Malahan murka Allah dan api neraka jahanam akan mendera mereka siang malam tanpa putus-putus. Takutlah kepada azab Allah yang tak seorang pun akan selamat darinya kecuali orang-orang yang mendapat keridhaan Allah.
Tidakkah cukup pelajaran bagi kaum-kaum terdahulu yang mendapatkan azab Allah karena mempraktekkan kecuringan dalam jual beli serta melakukan riba. Amat celakalah mereka. Sungguh, tidak pantas bagi kita mencampur karunia Allah dengan sesuatu yang haram dan nista. Berikanlah hak pembeli dan genapkanlah timbangan dan ukurannya, jadilah pedagang yang jujur dan amanah. Sungguh, surga Allah telah menunggumu dan engkau yang pertama kali akan memasukinya. Alangkah bahagianya orang-orang yang mendapat kemenangan yang gemilang itu.
Dikutip dari buku The Power of Wisdom Kitab Hikmah Buah Keimanan
Penulis Nurrahman Effendi, Penerbit Grafindo, 2008
Penulis Nurrahman Effendi, Penerbit Grafindo, 2008
Rabu, 22 Oktober 2008
Judul Buku : The Power of Wisdom
Pengarang : Nurrahman Effendi
Penerbit: Grafindo, 2008
Ukuran : 180 halaman
Harga SC : Rp 32,000
Deskripsi:
Pengalaman adalah soko guru paling baik. Di setiap peristiwa selalu ada hikmah, dan pengalaman atas suatu kejadian pasti ada hikmah di dalamnya. Hikmah, atau dalam Islam disebut ilmu pengetahuan, adalah permata yang hilang dari umat ini. Makanya Islam menganjurkan umatnya untuk menggali dan mencari hikmah yang hilang tersebut untuk bekal kehidupan dan modal pengabdian kepada Allah SWT.
Buku ini mengurai untaian hikmah dari satu kejadian. Sumbernya pun otentik; dari mulai Rasulullah hingga para ulama terdahulu dan nilai-nilai kebajikan masa kini. Rasulullah adalah teladan paling baik, dan tak satu pun cela muncul darinya. Karena itu, karya ini bisa menjadi semacam kitab panduan hikmah paling baik untuk bekal mengarungi dan menghadapi derasnya arus kehidupan modern. Setelah membaca buku ini, kita akan:
• Menemukan hakikat kehidupan sarat makna
• Pentingnya menggali potensi diri
• Melejitkan kecerdasan spiritual dan emosional dalam menapaki karir
• Kedewasaan dan kearifan dalam beribadah dan bermasyarakat
• Strategi jitu menggapai kesuksesan sejati
Dengan bahasa yang mudah dicerna dan langsung menyentuh persoalan hidup, buku yang sarat motivasi dan ajaran kebajikan ini patut kita baca.
Berbahagialah untuk Hidup Hari ini
By Nurrahman Effendi*
Hikmah Republika Selasa, 23 September 2008
Dalam bukunya, The Modern Man In Search of Spirit, Dr Carl Gustav Jung menulis, selama 30 tahun orang-orang dari berbagai negara berperadaban datang menemui saya untuk konsultasi. Saya telah mengobati ratusan pasien yang sebagian berusia setengah baya, 35 tahun ke atas. Dan, tak seorang pun di antara mereka yang tidak mengembalikan persoalannya kepada agama sebagai pandangan hidup.
Maka, bisa saya katakan bahwa setiap dari mereka jatuh sakit karena kehilangan apa yang telah diberikan agama kepada orang-orang yang beriman. Dan, jika belum mampu mengembalikan keimanannya yang sejati, mereka tidak akan bisa disembuhkan.
Agama diyakini sebagai obat paling manjur bagi krisis mentalitas dan kepribadian. Orang-orang rela melakukan perjalanan jauh yang melelahkan untuk mengunjungi tempat tersuruk di pegunungan dan pelosok dunia, demi mencari kedamaian, ketenangan, dan pelipur kehausan spiritual.
Namun, kebanyakan dari mereka hanya mendapatkan kelelahan fisik, marabahaya, dan biaya yang tak sedikit. Namun, tak jua menemukan obat penawar kedahagaan spiritual yang dicarinya.
Dan, beruntunglah orang yang mengakui tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya. Allah memberikan kemudahan bagi setiap Muslim untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Karena, Allah memang tidak menghendaki kesukaran bagi hamba-Nya. ''Dan Kami akan memudahkan bagimu ke jalan kemudahan (kebahagiaan dunia dan akhirat).'' (QS. Al-A'la [87]: 8).
Kebahagiaan itu tidak diukur hanya dengan materi. Orang yang susah, mengidentikkan bahagia kalau punya rumah gedung, mobil mewah, makan yang enak-enak, dan gaji jutaan rupiah. Namun, tak sedikit orang yang bergelimangan harta mengeluh kepenatan batin, fisik ambruk sering keluar masuk rumah sakit, dan pikiran selalu didera masalah yang datang bertubi-tubi.
Padahal, Nabi SAW tidak berlebihan mengidentifikasi standar kebahagiaan. ''Jika seseorang dapat tidur nyenyak, sehat badannya, dan ada makanan untuk satu hari, maka dia telah memiliki segalanya.''
Benar adanya apa yang Rasulullah katakan. Terkadang pikiran dan cara pandang kita yang salah telah mengaburkan segalanya. Membuat kita terjebak dalam sikap pragmatis. Seperti tamsil yang mengatakan bahwa langit tampak lebih sejahtera dan mapan, sedangkan bumi miskin dan rendah. Padahal, di bumilah kaki kita berpijak. Di bumilah kehidupan kita berjalan. Syukurilah nikmat yang kita terima hari ini agar kita bisa mencicipi kebahagiaan. (ah)
Penulis buku The Power of Wisdom Kitab Hikmah Buah Keimanan (Grafindo, 2008)
Hikmah Republika Selasa, 23 September 2008
Dalam bukunya, The Modern Man In Search of Spirit, Dr Carl Gustav Jung menulis, selama 30 tahun orang-orang dari berbagai negara berperadaban datang menemui saya untuk konsultasi. Saya telah mengobati ratusan pasien yang sebagian berusia setengah baya, 35 tahun ke atas. Dan, tak seorang pun di antara mereka yang tidak mengembalikan persoalannya kepada agama sebagai pandangan hidup.
Maka, bisa saya katakan bahwa setiap dari mereka jatuh sakit karena kehilangan apa yang telah diberikan agama kepada orang-orang yang beriman. Dan, jika belum mampu mengembalikan keimanannya yang sejati, mereka tidak akan bisa disembuhkan.
Agama diyakini sebagai obat paling manjur bagi krisis mentalitas dan kepribadian. Orang-orang rela melakukan perjalanan jauh yang melelahkan untuk mengunjungi tempat tersuruk di pegunungan dan pelosok dunia, demi mencari kedamaian, ketenangan, dan pelipur kehausan spiritual.
Namun, kebanyakan dari mereka hanya mendapatkan kelelahan fisik, marabahaya, dan biaya yang tak sedikit. Namun, tak jua menemukan obat penawar kedahagaan spiritual yang dicarinya.
Dan, beruntunglah orang yang mengakui tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya. Allah memberikan kemudahan bagi setiap Muslim untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Karena, Allah memang tidak menghendaki kesukaran bagi hamba-Nya. ''Dan Kami akan memudahkan bagimu ke jalan kemudahan (kebahagiaan dunia dan akhirat).'' (QS. Al-A'la [87]: 8).
Kebahagiaan itu tidak diukur hanya dengan materi. Orang yang susah, mengidentikkan bahagia kalau punya rumah gedung, mobil mewah, makan yang enak-enak, dan gaji jutaan rupiah. Namun, tak sedikit orang yang bergelimangan harta mengeluh kepenatan batin, fisik ambruk sering keluar masuk rumah sakit, dan pikiran selalu didera masalah yang datang bertubi-tubi.
Padahal, Nabi SAW tidak berlebihan mengidentifikasi standar kebahagiaan. ''Jika seseorang dapat tidur nyenyak, sehat badannya, dan ada makanan untuk satu hari, maka dia telah memiliki segalanya.''
Benar adanya apa yang Rasulullah katakan. Terkadang pikiran dan cara pandang kita yang salah telah mengaburkan segalanya. Membuat kita terjebak dalam sikap pragmatis. Seperti tamsil yang mengatakan bahwa langit tampak lebih sejahtera dan mapan, sedangkan bumi miskin dan rendah. Padahal, di bumilah kaki kita berpijak. Di bumilah kehidupan kita berjalan. Syukurilah nikmat yang kita terima hari ini agar kita bisa mencicipi kebahagiaan. (ah)
Penulis buku The Power of Wisdom Kitab Hikmah Buah Keimanan (Grafindo, 2008)
Dari Buku Menebar Hikmah
Inilah buku-buku buah karya pemikiran dan perenungan saya, mudah-mudahan memberikan pencerahkan kepada pembaca yang budiman dimanapun dan kapanpun. Bila pembaca memiliki komentar dan masukan setelah membaca buku-buku saya ini, silahkan menghubung saya dengan alamat email: bang_pendi@yahoo.co.id atau HP 085271832738.
Semoga silaturahim dan ukhuwah antara kita selalu terbina dan diridhai-Nya.
Lebih Akrab dengan Nurrahman Effendi
Biodata Singkat Penulis
Nama Pena : Nurrahman Effendi
Nama Lengkap : Joni Lis Efendi
TTL : Kenagarian Kambang (Sumbar), 08 Juni 1982
Pekerjaan : Penulis
Tulisan :
Hobi : Menulis, membaca, jalan kaki
Nomor Handphone : 085271832738
Email : efendi_jonilis@yahoo.com dan bang_pendi@yahoo.co.id
Nama Pena : Nurrahman Effendi
Nama Lengkap : Joni Lis Efendi
TTL : Kenagarian Kambang (Sumbar), 08 Juni 1982
Pekerjaan : Penulis
Tulisan :
- Buku "The Power of Wisdom Kiktab Hikmah Buah Keimanan" (Grafindo, 2008)
- Buku “Dirimu Harta Karun yang Tak Ternilai” (Media Qalbu, 2004)
- Buku “Menggapai Impian” (Media Qalbu, 2006)
- Buku “Making Dream Team” (Pustaka Ulumuddin, 2006)
- Buku “Menajadi Remaja Paling Bahagia Sedunia” (Rosalba Press, 2006)
- Buku "Krisis Sastra Riau, Kumpulan Esai Pilihan Riau Pos 2007" (Yayasan Sagang, 2007)
- Antologi "Jalan Pulan Kumpulan Cerpen Pilihan Riau Pos 2006" (Yayasan Sagang, 2006)
- Puluhan lepas di Harian Pagi Riau Pos, Riau Mandiri, Riau Tribune, Republika, Majalah Budaya Sagang, Haluan Padang, Majalah Sabili, Majalah Ummi, SKK Bahana Unri dan Buletin Estuaria
- Memenangkan lomba kepenulisan (fiksi dan nonfiksi) baik tingkat lokal maupun nasional
Hobi : Menulis, membaca, jalan kaki
Nomor Handphone : 085271832738
Email : efendi_jonilis@yahoo.com dan bang_pendi@yahoo.co.id
Menebar Sedekah dengan Cinta
Oleh: Nurrahman Effendi
Tebarlah sedekah atas dasar cinta yang tulus. Dia akan berbuah kasih sayang dan lebih berkah. Rasulullah saw menekankan bahwa sedekah yang paling afdhal adalah untuk kelurga kita yang paling membutuhkan. Banyak keutamaan yang terkandung di balik sedekah yang demikian itu.
Allah akan memberikan reward khusus bagi mereka yang bersedekah tanpa menyinggung perasaan orang yang menerimnay, seperti yang termaktub dalam surat Al-Baqara ayat (262). "Orang yang menyedekahkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang disedekahkannya itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak mereka bersedih hati."
Saya akan menceritakan pengalaman saya pribadi. Satu hari lagi batas akhir pembayaran uang kuliah saya waktu itu. Uang yang saya pegang waktu itu pas dengan besarnya uang SPP yang harus saya bayarkan. Kakak tertua saya menelepon dari kampung, mengatakan tidak ada lagi uang untuk biaya adik saya yang baru masuk di IAIN Imam Bonjol, Padang. Tanpa ragu, saya bagi dua uang itu sebagiannya saya transfer ke rekening kakak saya itu.
Demi Allah, hari itu juga saya dapat ganti dari seorang teman yang meminjamkan uang untuk menutupi kekurangan SPP saya. Tidak hanya itu, empat hari kemudian saya dihubungi panitia bahwa tulisan saya masuk sebagai pemenang. Dan hadiah sayembara penulisan itu belasan kali lipat dari uang yang saya sedekahkan. Inilah bukti kemahapemurahan Allah. Tidak akan ada yang sia-sia setiap rupiah yang kita sedekahkan.
Demi mencapai tingkatan ikhlas, Rasulullah saw menganjurkan sedekah tidak hanya kepada anggota keluarga yang begitu dekat dan amat kita cintai. Namun juga kepada anggota keluarga yang tidak begitu baik hubungannya dengan kita. Mungkin ada permasalahan pribadi yang membekas di hati Anda dengannya, yang kemudian berbuntut tidak saling menghargai dan mencintai. Terciptalah jarak yang kaku, hubungan yang dingin, miskin tegur sapah. Terlepas dari semua dasar permasalahan itu, Rasulullah saw menyarankan Anda untuk memperbaiki keretakan dan kebekuan itu dengan terlebih dahulu mengulurkan sedekah atau bantuan kepadanya. Inilah sedekah yang paling utama. Yakinlah, inilah sedekah yang utama dan penuh berkah.
Sedekah yang paling utama adalah yang diberikan kepada keluarga dekat yang bersikap memusuhi (HR Thabrani dan Abu Daud).
Penulis Buku : The Power of Wisdom Kitab Hikmah Buah Keimanan (Grafindo, 2008)
Tebarlah sedekah atas dasar cinta yang tulus. Dia akan berbuah kasih sayang dan lebih berkah. Rasulullah saw menekankan bahwa sedekah yang paling afdhal adalah untuk kelurga kita yang paling membutuhkan. Banyak keutamaan yang terkandung di balik sedekah yang demikian itu.
Allah akan memberikan reward khusus bagi mereka yang bersedekah tanpa menyinggung perasaan orang yang menerimnay, seperti yang termaktub dalam surat Al-Baqara ayat (262). "Orang yang menyedekahkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang disedekahkannya itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak mereka bersedih hati."
Saya akan menceritakan pengalaman saya pribadi. Satu hari lagi batas akhir pembayaran uang kuliah saya waktu itu. Uang yang saya pegang waktu itu pas dengan besarnya uang SPP yang harus saya bayarkan. Kakak tertua saya menelepon dari kampung, mengatakan tidak ada lagi uang untuk biaya adik saya yang baru masuk di IAIN Imam Bonjol, Padang. Tanpa ragu, saya bagi dua uang itu sebagiannya saya transfer ke rekening kakak saya itu.
Demi Allah, hari itu juga saya dapat ganti dari seorang teman yang meminjamkan uang untuk menutupi kekurangan SPP saya. Tidak hanya itu, empat hari kemudian saya dihubungi panitia bahwa tulisan saya masuk sebagai pemenang. Dan hadiah sayembara penulisan itu belasan kali lipat dari uang yang saya sedekahkan. Inilah bukti kemahapemurahan Allah. Tidak akan ada yang sia-sia setiap rupiah yang kita sedekahkan.
Demi mencapai tingkatan ikhlas, Rasulullah saw menganjurkan sedekah tidak hanya kepada anggota keluarga yang begitu dekat dan amat kita cintai. Namun juga kepada anggota keluarga yang tidak begitu baik hubungannya dengan kita. Mungkin ada permasalahan pribadi yang membekas di hati Anda dengannya, yang kemudian berbuntut tidak saling menghargai dan mencintai. Terciptalah jarak yang kaku, hubungan yang dingin, miskin tegur sapah. Terlepas dari semua dasar permasalahan itu, Rasulullah saw menyarankan Anda untuk memperbaiki keretakan dan kebekuan itu dengan terlebih dahulu mengulurkan sedekah atau bantuan kepadanya. Inilah sedekah yang paling utama. Yakinlah, inilah sedekah yang utama dan penuh berkah.
Sedekah yang paling utama adalah yang diberikan kepada keluarga dekat yang bersikap memusuhi (HR Thabrani dan Abu Daud).
Penulis Buku : The Power of Wisdom Kitab Hikmah Buah Keimanan (Grafindo, 2008)
Langganan:
Postingan (Atom)