Kamis, 23 Oktober 2008

Pedagang yang Takut Azab Allah

Pedagang yang Takut Azab Allah
Oleh: Nurrahman Effendi

Langit Madinah begitu cerah. Tak ada segumpal awan pun yang mengapung di angkasa. Matahari bersinar begitu angkuh. Panasnya mampu memanggang ubun-ubun. Walaupun begitu, orang-orang tetap cuek di bawah tikaman panas yang begitu garang. Keperluan yang mendesak membuat mereka tidak begitu peduli dengan panas yang memanggang pada siang itu.
Orang-orang yang berlalu lalang masih ramai. Walau tidak seramai pagi tadi. Pedagang-pedagang masih banyak yang menggelar dagangannya. Di bawah naungan tenda yang terbuat dari kulit binatang, mereka menawarkan kepada siapa saja yang lewat barang dagangannya. Ada yang cuma melihat-lihat saja. Ada juga satu dua yang menawarnya. Kebanyakan hanya numpang lewat.
Pedagang yang memiliki kios sendiri jauh lebih beruntung bila cuaca teramat panas begini. Tapi mereka kalah banyak pembeli dengan pedagang-pedagang yang membuka lapak di tepi-tepi jalan itu. Ada juga satu dua orang yang sengaja mendatangi mereka. Dan mereka tidak perlu setengah berteriak untuk menawarkan dagangannya. Sebagian besar pembeli yang datang ke kios-kios itu adalah pelanggan tetap. Sedangkan pedagang-pegadang lapak itu hanya bersifat musiman dan selalu berganti-ganti orang.
Sebagian besar pedagang di zaman tabiin itu adalah adalah pegadang yang jujur dan memegang teguh prinsip-pinsip bermuamalah yang sesuai dengan syariat Islam. Salah satu dari mereka adalah Yunus bin Ubaid, seorang pedagang perhiasaan di kota Madinah yang sudah diakui kejujuran dan keshalehannya. Toko perhiasaannya tidak pernah sepi dari orang yang datang untuk membeli perhiasaan, menjualnya kembali atau menggadaikannya.
Prinsip yang dijalankan Yunus adalah kejujuran dan kepercayaan. Dia begitu takut akan murka Allah terhadap pedagang yang curang. Nabi saw. pernah mengatakan bahwa pegadang yang jujur akan memasuki surga lebih dahulu. Sedangkan pedagang yang suka mengurangi timbangan, ukuran dan membohongi pembeli tentang kualitas barang dagangannya, bagian mereka adalah neraka yang menyala-nyala. Dan tentunya mereka yang duluan memasukinya.
Tidak itu saja, Allah akan menurunkan bencana yang tidak putus-putusnya kepada sebuah kaum bila saja pada kaum itu pedagang-pedagangnya suka mengurangi timbangan, ukuran dan melakukan praktek riba. Tidak akan selamat orang-orang yang demikian.
Matahari sudah tergelincir ke barat. Sebentar lagi akan masuk waktu shalat zuhur. Yunus telah bersiap-siap untuk menunaikan panggilan kemenangan itu. Untuk itu, dia meminta anak saudaranya menunggu toko perhiasannya.
Debu-debu di jalanan kota Madinah berterbangan ditiup angin. Orang-orang banyak yang menutup hitung dan mulutnya. Perempuan-perempuan tak tampak lagi di jalanan. Mereka masuk ke kamarnya masing-masing untuk menunaikan shalat zuhur. Sedangkan para lelaki berbondong-bondong menuju masjid.
Para pedagang musiman itu membiarkan begitu saja barang dagangannya. Sebagian ada yang menutupnya dengan pelepah kurma agar debu dan pasir tidak menyiramnya, bisa-bisa tidak ada orang yang mau membeli buah kurma dan pir mereka. Bocah-bocah berkejar-kejaran di gang-gang menuju masjid. Sesekali mereka berlindung di balik punggung ayah atau lelaki dewasa lainnya untuk menghindari kejaran temannya. Suara tawa dan salam silih berganti terdengar di lorong gang menuju masjid. Sudah menjadi kebiasaan lelaki di sana, setiap bertemu dengan kenalan apalagi sahabat baik akan mengucapkan salam, berpelukkan dan tertawa dalam waktu yang hampir bersamaan.
Pelataran masjid sudah penuh sesak. Di tempat wudhu, orang-orang antri untuk mendapat gilirian membersihkan anggota tubuh. Azan sudah selesai dan orang-orang mangangkat takbir untuk melaksanakan shalat sunat.
Sementara itu, di toko perhiasan Yunus, ada seorang badui yang datang untuk membeli perhiasan. Sepertinya dia memang menyengajakan diri jauh-jauh datang ke Madinah untuk terlebih dahulu singgah di toko perhiasaan itu. Kata orang-orang di kampungnya, harga perhiasan jauh lebih murah kalau dia membelinya langsung ke Madinah. Di kampungnya, perhiasaan seperti itu harganya bisa jadi dua atau tiga kali lipat.
Dia pun menemukan apa yang dicarinya. Sebuah perhiasaan yang sudah dilihatnya di kampungnya yang begitu ingin dibelinya.
"Yang ini saya beli 400 dirham, bagaimana?" tawar badui itu tanpa menanyakan dulu harga yang sebenarnya kepada pelayan toko itu ketika melihat perhiasaan yang dimaksudnya.
"Ambillah," kata pelayan toko itu sambil memberikan perhiasan itu.
Tanpa banyak tawar lagi, perhiasaan itu sudah berpindah ke tangan orang badui itu. Alangkah senangnya hati orang badui itu mendapatkan perhiasaan yang dicarinya dengan harga yang lebih murah.
Karena sangking senang dan bahagianya, perhiasan itu dilihatinya terus sambil melangkah menuju masjid. Ketika melewati lorong masjid, tanpa sengaja dia menubruk tubuh Yusuf. Karena orang badui itu tidak terlalu memperhatikan jalan dan asyik menatap perhiasan yang ada di tangan kanannya.
Yusuf pun tahu bahwa perhiasaan itu berasal dari tokonya. Dia menanyakan perihal perhiasan itu kepada orang badui itu.
"Maaf Pak, sepertinya perhiasan ini berasal dari toko saya. Kalau boleh tahu, berapa Bapak beli perhiasan ini?"
"Perhiasan ini saya beli 400 dirham. Saya begitu senang karena harganya lebih murah dari yang ada di kampung saya," orang badui itu masih tersenyum senang.
"Harga perhiasan ini hanya 200 dirham. Baiknya kita kembali ke toko saya. Saya akan mengembalikan sisa uang Bapak."
"Tidak mengapalah. Saya sudah sangat senang dan tidak masalah dengan harga 400 dirham. Di kampung saya, harga perhiasan seperti ini tidak bisa kurang dari 500 dirham."
"Demi Allah, Bapak harus mengambil sisa uangnya. Saya takut Allah akan murka kepada saya."
Mendangar kata yang demikian, orang badui itu bersedia kembali ke toko Yusuf. Setibanya di toko perhiasannya, Yusuf segera mengembalikan dua ratus dirham kepada orang badui itu. Orang badui itu bersorak senang. Berkali-kali dia mencium pipi Yusuf. Setelah itu dia mengatakan kepada semua orang yang ditemuinya bahwa perhiasan itu dibelinya seharga dua ratus dirham. Dia melakukan hal yang demikian karena sangking senangnya.
"Kau lihat sendiri, kan? Hampir saja saya melakukan sebuah kezaliman. Apakah kamu tidak merasa malu dan takut kepada Allah atas perbuatanmu menjual barang tadi dengan harga dua kali lipat?" ucap Yusuf kepada anak saudaranya itu.
"Tetapi dia sendiri yang mau membelinya segitu. Saya belum sempat mengatakan harganya, dia sudah menawar empat ratus dirham," bela anak saudaranya itu.
"Kau benar, tapi kita telah menzalimi saudara sendiri. Dan dia akan menuntut di akhirat kelak. Takutlah kepada azab Allah yang tak seorang pun yang dapat selamat darinya."
Anak saudaranya itu terduduk lesuh. Dia harus lebih banyak belajar untuk menjadi pedagang yang jujur seperti pamannya itu. Bukan pekara mudah untuk menjadi padagang yang jujur dan amanah. Tapi bukan berarti tidak ada pedagang yang jujur.

Wahai Saudaraku Seiman yang berbahagia
Sungguh amat celakalah seorang pedagang yang mengurangi timbang, memendekkan ukuran dan membohongi pembeli dengan mengatakan bahwa barang yang jualnya itu bagus padahal tidak. Mereka mengira bahwa dengan demikian itu akan mendatangkan keuntungan yang besar. Sekali-kali tidak. Malah kerugian besar yang kelak akan mereka terima. Malahan murka Allah dan api neraka jahanam akan mendera mereka siang malam tanpa putus-putus. Takutlah kepada azab Allah yang tak seorang pun akan selamat darinya kecuali orang-orang yang mendapat keridhaan Allah.
Tidakkah cukup pelajaran bagi kaum-kaum terdahulu yang mendapatkan azab Allah karena mempraktekkan kecuringan dalam jual beli serta melakukan riba. Amat celakalah mereka. Sungguh, tidak pantas bagi kita mencampur karunia Allah dengan sesuatu yang haram dan nista. Berikanlah hak pembeli dan genapkanlah timbangan dan ukurannya, jadilah pedagang yang jujur dan amanah. Sungguh, surga Allah telah menunggumu dan engkau yang pertama kali akan memasukinya. Alangkah bahagianya orang-orang yang mendapat kemenangan yang gemilang itu.

Dikutip dari buku The Power of Wisdom Kitab Hikmah Buah Keimanan
Penulis Nurrahman Effendi, Penerbit Grafindo, 2008



Tidak ada komentar: